Cibiran datang kepada Teten Masduki saat dia memutuskan maju menjadi calon wakil gubernur Jawa Barat mendampingi politikus PDI Perjuangan Rieke Dyah Pitaloka. Banyak orang menganggap Teten, sang ikon gerakan antikorupsi, sudah berubah. Politik bakal merusaknya.
“Saya dituding sudah berubah. Seolah-olah saya akan rusak. Ketika saya mencoba meyakinkan, juga tidak ada yang percaya,” ujar Teten, Selasa (12/2), dalam diskusi buku tentang dirinya yang berjudul Teten Masduki. Panglima Domba Melawan Korupsi. Buku ini ditulis dua wartawan Kompas, Ilham Khoiri dan Ahmad Arif.
Nama Teten Masduki memang sangat dikenal dalam pergerakan antikorupsi di Indonesia, bahkan namanya seolah identik dengan gerakan ini. Awalnya, sebagai aktivis Teten lebih banyak terlibat dalam gerakan advokasi buruh. Dia sempat menjadi Kepala Divisi Perburuhan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Dalam kegiatan advokasi buruh inilah dia kemudian menemukan bahwa akar rendahnya upah buruh ialah korupsi. Korupsi yang subur pada era Orde Baru harus dilawan. Jika tidak maka reformasi yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata anak-anak bangsa itu akan sia-sia.
Pada 1998 dia dan sejumlah aktivis lain mendirikan Indonesian Corruption Watch (ICW), lembaga independen yang amat lantang berbicara soal korupsi. Teten juga menjadi koordinator pertamanya. Ia meletakkan fondasi ICW hingga besar seperti sekarang.
Lelaki yang 6 Mei 2013 nanti genap 50 tahun ini dikenal memiliki reputasi sebagai aktivis yang berintegritas tinggi. Karena itu, banyak yang tidak menyangka keputusan Teten mencalonkan diri menjadi cawagub Jabar.
Sebagian orang memang masih menganggap politik sebagai dunia yang kotor, penuh intrik, menghalalkan segala cara untuk kekuasaan plus uang. Ada semacam ketidakrelaan jika ada aktivis yang dikenal idealis dan vokal membela rakyat, ikut "nyemplung" ke politik. Setiap ada aktivis yang mengambil jalan politik praktis, kerap dipandang dengan kecurigaan; dianggap telah luruh idealisme dan bosan miskin.
Teten tahu dirinya juga dipandang dengan kecurigaan seperti itu. “Ada anggapan jika aktivis masuk politik, bukan politiknya yang berubah, tetapi malah aktivisnya,” katanya.
Setelah beberapa bulan sejak maju menjadi cawagub, dia memang menemukan realitas perbedaan antara politik dan gerakan sosial yang lama digelutinya. Dia menemukan lawan politik yang menghalalkan segala cara untuk menang. Misalnya, tim sukses pasangan tertentu, masuk ke desa-desa dan mengklaim program pemerintah pusat sebagai keberhasilan kerja calon tertentu itu.
Dia juga mencium kecurangan di balik pencairan dana APBD Jawa Barat pada Februari. Padahal pada tahun sebelumnya, APBD selalu cair bulan Juni. “Cepat-cepat dicairkan yah pasti digunakan buat kampanye calon tertentu,” kata Teten yang juga merupakan pengusaha peternakan domba ini.
Dia juga mengungkapkan protesnya karena merasa media massa tidak banyak meliput kegiatan kampanyenya dibanding dengan kandidat yang lain. “Apa karena saya tidak pernah ngiklan? Dulu jadi aktivis, saya mandiin domba pun diberitakan. Sekarang terjun ke politik, malah tidak ada yang beritain,” ujarnya nyinyir.
Teten mengaku berkampanye dengan biaya tidak besar. Dia memanfaatkan jejaring masyarakat sipil yang selama ini sudah dikenalnya selama menjadi aktivis. “Ini (maju sebagai cawagub) eksperimen melawan politik transaksional,” ujarnya.
Dia masih yakin, tidak melulu kekuatan uang bakal menjadi pemenang dalam kontestasi politik. Dia mencontohkan fenomena Jokowi dan Ahok yang sukses jadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Dia melihat, di Jawa Barat ada juga harapan untuk menang tanpa politik uang.
Namun Teten sadar perjuangannya tidak mudah. Namanya memang dikenal banyak kalangan sebagai aktivis antikorupsi. “Tetapi ketika blusukan ke desa-desa, ternyata saya tidak terkenal,” ujarnya. Apalagi tingkat pendidikan masyarakat Jawa Barat pun tidak terlalu tinggi, rata-rata hanya lulusan sekolah dasar, ia menambahkan.
Bagi Teten, musuh utamanya dalam Pilkada Jawa Barat ini adalah tokoh-tokoh masyarakat, tokoh adat, dan ulama yang bersedia dibeli untuk memengaruhi pilihan masyarakat.
Aktivis Komite Indonesia Bangkit Adhie Massardi menganggap pencalonan Teten sebagai pertaruhan aktivis yang terjun ke politik. Apabila Teten berhasil maka ia bakal menjadi penyemangat bagi aktivis lainnya untuk berani terjun ke politik praktis.
Partai politik pun tidak akan ragu membuka pintu kesempatan bagi para aktivis untuk dicalonkan dalam pemilu kada. Di situ para aktivis bisa langsung unjuk gigi membentuk kebijakan yang berpihak pada masyarakat; memberikan contoh berpolitik sehat yang selama ini diteriakannya di jalanan.
Rektor Universitas Paramadina Anis Baswedan menyatakan tidak ada yang salah jika aktivis mempunyai keinginan terjun ke politik praktis. Politik, menurutnya, juga bisa menjadi tempat pengabdian.
"Pengusaha masuk politik kita diam saja, akademikus ikut politik juga biasa saja, aktivis pun normal-normal saja kalau mau masuk ke politik," ujar Anis.
Teten sadar keikutsertaanya dalam Pilkada Jabar jadi pertaruhan aktivis di dunia politik. Apalagi dia sudah telanjur menjadi semacam monumen gerakan korupsi. Kemenangan amat penting, tetapi jika kalah pun bukan berarti kerugian bagi gerakan antikorupsi.
Pengalaman mengikuti kompetisi politik justru bisa menjadi pembelajaran untuk memperkuat gerakan civil society. Tak perlu ada kekhawatiran soal terjunnya aktivis ke politik. Teten pun menegaskan janjinya, "Saya tetap akan kembali."