Dari istilah, penyebutan pedagang kaki lima (PKL) sudah menimbulkan multitafsir. Ada yang menyebut sebagai pedagang ”berkaki” lima, menghitung dari dua kaki pedagang, ditambah dua roda gerobak, dan satu kaki penyangga di depan/ belakang gerobak.
Tafsir itu belum seutuhnya mengakomodasi istilah tersebut mengingat tak semua pedagang kaki lima menggunakan gerobak. Sebagian menggelar dagangan pada tikar atau lembaran plastik, menjinjing dengan tas besar, memikul dan sebagainya. Singapore Infopedia menyebut pedagang kaki lima sebagai five feet traders.
Terjemahan bebas dari deskripsi dalam Bahasa Inggris situs itu adalah pedagang kaki lima adalah pedagang yang melakukan bisnis di tepi jalan, menempati space selebar lima kaki (feet). Satuan dimensi mengenal satuan feet (ft) atau ”kaki”, setara dengan 0,3048 cm.
Kita bisa mengartikan 5 feet ekuivalen dengan 152, 4 cm atau 1,5 m. Jadi, pedagang kaki lima adalah pedagang yang menjual dagangannya pada space selebar 1,5 m yang biasanya menempati emper toko, pinggir jalan, pasar, seputar pasar modern, dan tempat-tempat keramaian.
Keberadaan PKL seperti pepatah ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang. Saat dibutuhkan, keberadaan mereka sangat diperhatikan dan seolah-olah wajib dilindungi. Tapi gantian tak dibutuhkan, dengan mudah digusur dan diusir. Yang sangat mencolok adalah menjelang pilkada.
Semua calon kepala daerah mengklaim bahwa ia sangat berpihak dan melindungi pedagang kaki lima. Dalam kampanye ia selalu mengorasikan tentang keberpihakannya. Bahkan ada calon kepala daerah atau wakil kepala daerah mendadak rajin menyambangi komunitas pedagang kali lima. Namun, begitu calon ini menjadi pimpinan daerah belum tentu konsisten pada janji mereka.
Posisi Tawar
Pada Selasa (05/03) KPU Jateng menutup pendaftaran Pilgub Jateng 2013, dan mencatat tiga pasangan cagub-cawagub. Sebelum itu, cagub dan cawagub sudah bergerilya ke komunitas PKL, baik secara langsung menyapa maupun lewat pernyataan media. Hal ini bisa dimengerti mengingat jumlah PKL cukup potensial untuk mendulang suara. Saat ini di Jateng jumlah mereka ada 4,2 juta orang (Suara Merdeka cybernews, 18/02/12).
Angka itu berarti 14% dari data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang berjumlah 29,6 juta jiwa. Dengan asumsi kasar bahwa tiap pedagang kaki lima bisa menggaet satu calon pemilih baru, berarti potensi mereka dalam pilgub 26 Mei mendatang bisa mencapai 28%. Persentase yang sangat signifikan untuk memenangi pilkada tersebut.
Kini tinggal bagaimana para cagub dan cawagub ini bisa mengikat PKL menjadi mesin pendulang suara. Saya kira bukan hal mudah untuk mengikat PKL dalam satu suara karena mereka tersebar dalam beberapa wilayah dan dengan kepentingan masing-masing.
Organisasi yang menaungi pun belum tentu bisa mengikatnya dalam satu suara, seperti Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI), atau di daerah yang berjumlah banyak, seperti Komunitas Pedagang Semarang Setara (Kompass), Asosiasi PKL Surakarta (APS), Paguyuban Pedagang Kaki Lima ëíGuyub Rukuníí Manahan, Solo, dan lain-lain.
Bagi pedagang, pilgub bisa menjadi momentum untuk meningkatkan posisi tawar mereka dengan pemda. Bagimana mereka memanfatkan potensi untuk menciptakan kesetaraan posisi tawar dengan para cagub, semisal dalam bentuk kontrak sosial untuk memperjuangkan kepentingan pedagang.
Konkretnya, pelibatan pedagang dalam pengambilan kebijakan tata kota, penyusunan perda yang mengatur mereka, perda penataan pasar, atau perda lain yang bersentuhan dengan pedagang kecil. Hal ini merupakan langkah strategis untuk memperjuangkan kepentingan PKL dalam jangka panjang.
Jangan lagi pedagang terjebak dalam janji-janji sesaat yang mudah diingkari. Peristiwa masa lalu seharusnya menjadi pengalaman bagi PKL untuk memperkuat diri. Mereka perlu memberdayakan organisasi/ asosiasi guna menyatukan langkah dalam mencapai tujuan. Jangan sampai momentum pilgub terlewatkan mengingat jumlah pedagang sangat signifikan. (10)