VIVAnews - Rieke Diah Pitaloka yang berpasangan dengan aktivis antikorupsi Teten Masduki mendapat nomor urut 5 dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat. Dengan mengenakan pakaian khas kotak-kotak yang sebelumnya dipakai Joko Widodo saat Pilkada Jakarta, pasangan yang didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini siap membawa perubahan di Jabar.
Nama Rieke yang dilahirkan 8 Januari 1974 di Garut ini menjulang lewat komedi situasi, Bajaj Bajuri, yang tayang di sebuah stasiun televisi berkat perannya sebagai seorang istri pengemudi bajaj bernama Oneng. Sebenarnya, jauh sebelum perempuan bernama lengkap Rieke Diah Pitaloka Intan Purnamasari ini terkenal sebagai artis, Rieke sudah berkecimpung dalam dunia sosial dan politik.
Rieke aktif dalam kegiatan politik dan membantu gerakan buruh. Wanita ini juga dikenal membela kaum buruh serta TKI dan TKW yang selalu mendapat intimidasi.
Rieke pernah menduduki jabatan wakil sekretaris jendral DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pimpinan Muhaimin Iskandar ini, dengan fokus di isu buruh. Rieke kemudian mengundurkan diri dari partai berbasis massa Islam tersebut bergabung ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pimpinan Megawati Soekarnoputri.
Mendapat restu jadi caleg dengan Dapil 2 Jabar, Rieke melenggang menjadi anggota DPR periode 2009-2014 dari PDI-P. Lewat Pemilu 2009, Rieke terpilih masuk Dewan Perwakilan Rakyat, duduk di Komisi IX yang membidangi kesejahteraan rakyat. Ia merupakan salah satu anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Istri dosen Universitas Indonesia Donny Gahral Adian ini menyelesaikan pendidikan S-1 di jurusan Sastra Belanda, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, dan S-1 Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Meski sibuk dengan segala kegiatan 'keartisan', Rieke berhasil menyelesaikan pendidikan S-2 di jurusan Filsafat Universitas Indonesia (UI). Tesisnya yang berjudul "Banalitas Kejahatan: Aku yang tak Mengenal Diriku, Telaah Hannah Arendt Perihal Kekerasan Negara" dibukukan dengan judul "Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat", diterbitkan oleh Galang Press.
Sejak aktif sebagai anggota DPR, Rieke agak jarang beraktivitas di dunia keartisan. Namun sesekali, Rieke ikut pementasan teater atau muncul sebagai bintang iklan di televisi. Rieke juga mendirikan sebuah yayasan yang diberi nama "Yayasan Pitaloka" yang bergerak di bidang sastra dan sosial kemasyarakatan.
Dan pada tahun 2012 ini, Rieke memutuskan untuk mencalonkan dirinya sebagai Gubernur Jawa Barat dengan didampingi Teten Masduki, salah satu pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW). Teten, seperti halnya Rieke, juga kelahiran Garut, 6 Mei 1963.
Secara fisik, penampilan Teten Masduki biasa saja. Namun ia mudah dikenali karena kepalanya yang botak. Meski “kumis jenderal” menempel di atas bibirnya, tidak ada kesan galak pada dirinya. Tapi kalau “berhadapan” dengan tindak penyelewengan uang rakyat dan negaranya, ia sangat garang. Jenderal pun dilibasnya.
Nama Teten mencuat ketika Indonesia Corruption Watch (ICW), yang dipimpinnya, membongkar kasus suap yang melibatkan Jaksa Agung (saat itu) Andi M. Ghalib pada masa pemerintahan B.J. Habibie. Inilah pertama kalinya dalam sejarah sebuah lembaga seperti ICW bisa memaksa seorang pejabat tinggi negara turun dari jabatannya. Berkat kegigihannya mengungkap kasus tersebut, Teten dianugerahi Suardi Tasrif Award oleh Aliansi Jurnalis Independen pada tahun 1999.
Terlahir dari keluarga petani, masa kecil Teten dihabiskan di Kecamatan Limbangan, Garut, Jawa Barat. Tidak pernah terbayang ia akan menjadi aktivis antikorupsi, bahkan jenis “profesi” ini tak dikenalnya. Meski kurang memperhatikan pendidikan anak-anaknya, Masduki, ayah Teten, berpesan agar ia jangan sampai jadi pegawai negeri atau tentara. Teten sendiri ingin menjadi insinyur pertanian.
Tapi setamat dari SMA, ia kuliah di IKIP Bandung, mengambil jurusan kimia. Kesadaran terhadap masalah-masalah sosial sudah tumbuh sejak SMA. Saat kuliah ia sering ikut kelompok diskusi, mempelajari teori-teori dari yang kiri sampai yang kanan. Sekitar 1985, Teten ikut aksi demontrasi membela petani di Garut, yang tanahnya dirampas. “Mulai saat itu saya terjun di dunia aktivis. Setelah lulus saya direkrut LSM informasi dan studi hak asasi manusia,” tuturnya.
Ketika bekerja di divisi perburuhan YLBHI, ia berkawan dengan buruh. Hal yang sangat mengesankannya. “Luar biasa dan berkesan, perlawanan yang mereka lakukan tidak pernah henti,” ujarnya.
Kalau akhirnya Teten aktif di Indonesia Corruption Watch sebagai ketua badan pekerja, itu karena “Saya geram saja melihat korupsi yang ada. Padahal, kita ini kaya raya tapi hutan kita habis, sumber daya alam kita habis, utang kita menumpuk tapi enggak menyisakan apa-apa selain rakyatnya yang miskin,” ucapnya. Sudah puluhan kasus ikut dia tangani, antara lain kasus korupsi di Bank Dunia, Pertamina, Bulog, lalu PU, jalan tol, pajak.
Sebagai aktivis yang kerap berhadapan orang-orang yang diduga terlibat kasus korupsi, Teten kerap mendapat tekanan. Bahkan, pernah diancam akan diburu sampai ke liang kubur sekalipun. Ketika berhadapan dengan Andi M. Ghalib, ia mendapat tuduhan mencemarkan nama baik. “Ya, ini dagelan saja,” komentarnya, ringan.
Ada pula pengusaha, yang datanya masuk dalam daftar ICW, menawarkan fasilitas kendaraan dan lain-lain, asalkan datanya tidak diumumkan. Tentu saja ICW menolak.
Teten suka humor. Ketika ribut-ribut soal fasilitas mesin cuci untuk anggota DPR, di zaman pemerintahan Abdurrahman Wahid, Teten bersama staf ICW menghadiahkan lima papan penggilas cucian kepada DPR.
Teten tetap bertahan hidup di jalur ini. “Saya tetap dapat bertahan hidup dengan istri dan anak saya, dan bisa survive dengan hidup yang layak,” kata suami Suzana Ramadhani ini. (eh)