Bandung, 22/2 Dadang Suganda, lelaki berusia 62 tahun itu terus mengayun langkah, menyusuri gang-gang sempit sekitar rumahnya. Ia tak lagi menghitung berapa jarak yang telah ditempuh warga Gang Resmigalih, Rt 02 Rw 02, Batu Jajar Timur, Bandung Barat itu.
Ia ikut menyebarkan kartu Jabar Bangkit, yang disosialosasikan oleh pasangan Calon Gubernur Jawa Barat nomer urut lima. Kartu itu ia peroleh dari tetangganya seorang relawan Paten.
Awalnya Dadang hanya mendengar dari radio tua yang teronggok di rumah dindingnya, bahwa akan ada calon gubernur Jawa Barat, Rieke Diah Pitaloka. Bagi Dadang, nama Rieke telah akrab ditelinga mantan buruh itu. Ia telah banyak mendengar Rieke membantu sesama buruh, termasuk dirinya ketika mendapat PHK sepihak dari perusahaan.
Bagi Dadang meskipun dirinya belum pernah bertemu Rieke, ia berharap banyak masyarakat yang memilihnya, karena perjuangannya nyata dan dirasakan oleh masyarakat kecil, terutama kaum buruh.
Tidak ada yang memberi komando pada Dadang untuk menyebarkan kartu Jabar Bangkit, namun gerakan dari nuraninya telah menuntun lelaki tua itu menyebarkan kartu Jabar Bangkit, pada setiap orang yang ditemui di sepanjang jalan.
Dadang tidak memiliki motor ataupun sepeda, ia hanya memiliki dua kaki yang masih kokoh menopang raganya. Untuk itu ia berjalan kaki tiap hari menyusuri wilayah Bandung Barat. Ia menyebarkan kartu jabar bangkit, mula-mula pada warga sekitar rumahnya, kemudian pada rekan-rekan sesama buruh. Selanjutnya pada siapapun yang di temui di jalan.
Dadang tidak tercatat sebagai relawan di posko manapun, ia juga bukan anggota partai politik. Ia masyarakat biasa, mantan buruh. Namun ia ingin membantu perubahan di Jawa Barat, segera terwujud. Melalui kartu Jabar Bangkit yang saat ini menjadi program andalan PATEN.
Tak ada yang diharapkan dari perjuangan Dadang, tak juga ingin tercatat sebagai orang yang berjasa dalam masa kampanye calon gubernur Jawa Barat. Ia tak ingin menjadi apa-apa, namun ia ingin menghabiskan sisa hidupnya untuk melihat Jawa Barat baru dan bangkit lagi menuju perubahan.
Di rumahnya yang berdinding kayu, Dadang menatap lekat pada sosok Rieke Diah Pitaloka yang sedang muncul di sebuah siaran berita televisi. Keyakinannya masih meletup, seperti perjuangannya dahulu, bersama kaum buruh. Ia yakin bersama Rieke Diah Pitaloka, ada sebuah pijar perjuangan yang tidak mengada-ada, tetapi tulus.
Ia hanya berharap Jawa Barat jatuh di tangan orang yang tepat yang benar-benar memperhatikan nasib rakyat. Tidak meninggalkan masyarakat kecil seperti dirinya, tetap berjuang meski itu dirasa sulit. Dadang tak berharap Rieke tahu apa yang telah dilakukannya, ia hanya berharap kelak, Rieke tidak melupakan semua teman-teman buruhnya.
Malam makin menggerogoti kota Bandung, sementara Dadang meluruskan kakinya yang letih selepas berjalan menyusuri kota. Sebuah sandal tua, tergeletak di bawah ranjang , ia menjadi saksi perjuangan Dadang, relawan Paten tanpa posko. (nes)
Ia ikut menyebarkan kartu Jabar Bangkit, yang disosialosasikan oleh pasangan Calon Gubernur Jawa Barat nomer urut lima. Kartu itu ia peroleh dari tetangganya seorang relawan Paten.
Awalnya Dadang hanya mendengar dari radio tua yang teronggok di rumah dindingnya, bahwa akan ada calon gubernur Jawa Barat, Rieke Diah Pitaloka. Bagi Dadang, nama Rieke telah akrab ditelinga mantan buruh itu. Ia telah banyak mendengar Rieke membantu sesama buruh, termasuk dirinya ketika mendapat PHK sepihak dari perusahaan.
Bagi Dadang meskipun dirinya belum pernah bertemu Rieke, ia berharap banyak masyarakat yang memilihnya, karena perjuangannya nyata dan dirasakan oleh masyarakat kecil, terutama kaum buruh.
Tidak ada yang memberi komando pada Dadang untuk menyebarkan kartu Jabar Bangkit, namun gerakan dari nuraninya telah menuntun lelaki tua itu menyebarkan kartu Jabar Bangkit, pada setiap orang yang ditemui di sepanjang jalan.
Dadang tidak memiliki motor ataupun sepeda, ia hanya memiliki dua kaki yang masih kokoh menopang raganya. Untuk itu ia berjalan kaki tiap hari menyusuri wilayah Bandung Barat. Ia menyebarkan kartu jabar bangkit, mula-mula pada warga sekitar rumahnya, kemudian pada rekan-rekan sesama buruh. Selanjutnya pada siapapun yang di temui di jalan.
Dadang tidak tercatat sebagai relawan di posko manapun, ia juga bukan anggota partai politik. Ia masyarakat biasa, mantan buruh. Namun ia ingin membantu perubahan di Jawa Barat, segera terwujud. Melalui kartu Jabar Bangkit yang saat ini menjadi program andalan PATEN.
Tak ada yang diharapkan dari perjuangan Dadang, tak juga ingin tercatat sebagai orang yang berjasa dalam masa kampanye calon gubernur Jawa Barat. Ia tak ingin menjadi apa-apa, namun ia ingin menghabiskan sisa hidupnya untuk melihat Jawa Barat baru dan bangkit lagi menuju perubahan.
Di rumahnya yang berdinding kayu, Dadang menatap lekat pada sosok Rieke Diah Pitaloka yang sedang muncul di sebuah siaran berita televisi. Keyakinannya masih meletup, seperti perjuangannya dahulu, bersama kaum buruh. Ia yakin bersama Rieke Diah Pitaloka, ada sebuah pijar perjuangan yang tidak mengada-ada, tetapi tulus.
Ia hanya berharap Jawa Barat jatuh di tangan orang yang tepat yang benar-benar memperhatikan nasib rakyat. Tidak meninggalkan masyarakat kecil seperti dirinya, tetap berjuang meski itu dirasa sulit. Dadang tak berharap Rieke tahu apa yang telah dilakukannya, ia hanya berharap kelak, Rieke tidak melupakan semua teman-teman buruhnya.
Malam makin menggerogoti kota Bandung, sementara Dadang meluruskan kakinya yang letih selepas berjalan menyusuri kota. Sebuah sandal tua, tergeletak di bawah ranjang , ia menjadi saksi perjuangan Dadang, relawan Paten tanpa posko. (nes)
