Calon gubernur Jawa Tengah yang diusung PDIP, Ganjar Pranowo lebih memilih mendatangi acara diskusi yang diprakarsai oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Siyasah Jinayah IAIN Walisongo Semarang, ketimbang mendatangi acara debat calon gubernur yang digelar oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jateng.
Ganjar menilai bagi dirinya keberadaan mahasiswa lebih penting ketimbang mengikuti debat cagub yang belum saatnya dilakukan.
"Hari ini saya ada dialog dan debat kandidat dengan PWI. Tapi saya lebih memprioritaskan untuk hadir di sini. Mahasiswa tidak bisa diremehkan. Karena sejak 1966, mahasiswa sebagai pelaku sejarah dan mahasiswa tidak bisa lepas dari sejarahnya," ungkap Ganjar Pranowo disambut tepuk tangan meriah ratusan mahasiswa IAIN Semarang.
Hal itu diucapkan Ganjar dalam seminar bertema 'Golput dan Fenomena Emoh Negara, Tantangan Fungsi Parpol Dalam Konsolidasi Demokrasi Indonesia' di ruang auditorium 1, Kampus IAIN Walisongo Jalan Raya Mangkang, Semarang Kamis (14/3).
Dalam diskusi, Ganjar menjelaskan pascareformasi demokrasi menjadi pilihan Indonesia. "Akibat demokrasi jadi pilihan kita, siapapun jadi apapun. Seorang preman bisa jadi wali kota atau bupati. Maka untuk menyampaikan aspirasi, orang harus memilih bukan seperti kucing dalam karung. Tetapi kesejahteraan yang harus dinilai dari kinerja perwakilan yang ada di sana (gedung DPR RI). Saya apakah tersesat di jalan yang benar atau tidak. Hari ini saya hadir dari partai," ungkapnya.
Ganjar juga menyatakan, era reformasi yang kebablasan mengakibatkan para pemimpin dan pejabat negara menjadi lupa. Korupsi terjadi di mana-mana tidak mengenal umur dan tingkat pendidikan.
"Sebanyak 82,51 persen anggota DPR itu laki-laki. Perempuannya sangat sedikit. Kesetaraan gender, peran dan keberadaan perempuan sangat kurang di DPR. Sebetulnya di DPR, keberadaan perempuan lebih penting. Anggota DPR 38,98 persen usia 41-50 tahun. Ada 20-30 tahun dan dari segi pendidikan, apakah berkait korupsi dengan pendidikan?" papar dia.
Ganjar juga menyatakan, tidak ada antara korelasi pendidikan tinggi dengan tindak pidana korupsi. Sehingga muncullah para legislator yang kotor dan perilakunya buruk.
"Ada 40,68 persen S1, 38 persen S2 dan itu hasilnya jelek. Korelasi antara pendidikan tinggi dengan politik dan korupsi tidak ada hubungannya. Nazaruddin umur 32 tahun sudah korupsi. Yang tua sekali banyak. Yang profesor doktor ditangkap ada," imbuhnya.
Bahkan, Ganjar mengutip hasil desertasi rekanya di DPP PDI Perjuangan, Pramono Anung bahwa saat ini perilaku politik para pemimpin cenderung untuk memperkaya diri. Menambah aset kekayaan di dunia politik, jika perlu sampai mengamankan aset mereka masing-masing.
